Monday, May 04, 2015

ASAL USUL DESA NGALIYAN

ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN DESA NGALIYAN
KECAMATAN BEJEN, KABUPATEN TEMANGGUNG

A.       Berdirinya Pedukuhan Bongkol
Pada zaman dahulu kala (hehehee kok kayak kartun animasi...), sebelum adanya Desa Ngaliyan terdapat sebuah padukuhan (sekarang dusun), yang bernama Padukuhan Bongkol.
Sebelum terbentuknya dengan sebuah nama Dukuh Bongkol, ada 3 orang pepundhen atau pendiri desa yang secara bergantian membenahi padukuhan sebelum terbentuk padukuhan yang nyaman untuk ditinggali. Pepundhen desa itu ialah :
1.  Mbah Jenggot. Mbah Jenggot adalah seorang pendatang dan keturunan dari Kasultanan Demak. Ia mendirikan Dukuh Bongkol sesuai dengan bambu yang banyak di temukan olehnya, ialah bambu Bongkol.
2.       Mbah Tono Gati. Ia adalah orang yang membangun bendungan dan saluran air ke sawah Bongkol lewat hutan daerah Wonoroto (sekarang termasuk Desa Duren).
3.       Penatus. Ia adalah penerus dari Mbah Tono Gati yang membuat saluran irigasi ke sawah – sawah. Ia juga penasehat dari lurah pertama Desa Bongkol yaitu Nalipin.

Di masa itu, masyarakat padukuhan masih  sedikit sehingga belum dikatakan sebagai desa. Namun, dengan datangnya Mbah Jenggot dan bertambahnya tahun, masyarakat Padukuhan Bongkol juga bertambah. Bertambahnya masyarakat tidak hanya berasal dari keturunan, tetapi juga dari berbagai padukuhan di sekitarnya, bahkan ada yang berasal dari Yogyakarta.

Dari hal tersebut, dari awal terbentuknya Desa Ngaliyan kita asumsikan bahwa masyarakat awal Padukuhan Bongkol sudah mencapai 20 KK. Dari 20 KK itulah, sudah terbentuk desa yang bernama Desa Bongkol. Kepala Desa atau Lurah pertama yang menjabat kala itu adalah Lurah Nalipin.

B.       Berdirinya Desa Ngaliyan
Di lain cerita dan lain hari, ada sebuah padukuhan yang bernama Dukuh Duwet. Dukuh ini sangat miris sekali nasibnya. Hal itu terjadi karena padukuhan ini terletak di sekitar aliran sungai sehingga sering dilanda banjir. Banjir tidak hanya banjir biasa, tetapi banjir bandang ! Maka dari itu banyak masyarakat Dukuh Duwet yang ingin pindah karena tidak nyaman dengan kondisi tersebut.
Mereka akhirnya berbondong – bondong untuk pindah ke tempat yang aman dari ancaman banjir. Setelah menemukan tempat yang cocok dan nyaman, mereka menetap dan meninggalkan Dukuh Duwet. Sejak hari itu, mereka memberi nama tempat yang mereka tinggali dengan nama Ngaliyan. Dengan makna dukuh yang berpindah tempat (alihan = pindah).  Hal itu terjadi ketika Desa Bongkol masih dipimpin oleh Lurah Nalipin.
Semakin hari semakin banyak orang yang mendiami tempat tersebut sehingga sudah  bisa dikatakan sebagai Desa Ngaliyan, namun belum mempunyai pemimpin desa. Penduduk Desa Ngaliyan banyak yang datang dari desa dan dukuh lain di sekitarnya.

C.       Bergabungnya Desa Bongkol ke Desa Ngaliyan
Kembali ke Desa Bongkol, setelah bertahun – tahun memerintah Desa Bongkol (belum ada peraturan kepala desa), akhirnya Lurah Nalipin meninggal dan digantikan oleh Lurah Kadir Mertoadmojo.
Dari Lurah Kadir inilah Desa Bongkol bergabung  ke Desa Ngaliyan dan ia menetapkan diri sebagai Lurah Desa Ngaliyan karena belum ada pemimpin desa di Ngaliyan. Penggabungan ini dikarenakan setelah bertahun – tahun lamanya, Desa Ngaliyan jumlah penduduknya telah melebihi Desa Bongkol dan mempunyai perkembangan yang pesat. Supaya terdapat koordinasi dan kerjasama maka bergabunglah Desa Bongkol ke Desa Ngaliyan.  Akhirnya Bongkol menjadi dukuh kembali. Setelah bergabungnya Desa Bongkol ke Desa Ngaliyan, banyak desa dan dukuh lain bergabung ke Desa Ngaliyan, seperti Desa Sekeket, Dukuh Belang, Dukuh Kolonan (sekarang Dusun Krajan), dll.
Sesudah Lurah Kadir Mertoadmojo meninggal, ia digantikan oleh para penerusnya, yaitu :
1.    Lurah Suwilin Kartowijoyo (bertahun – tahun lamanya sampai meninggal)
2.    Lurah Harjo Suroso. Karena sudah tua dan tersangkut kasus G 30 S / PKI,  kemudian undur diri. (bertahun – tahun lamanya )
3.    Lurah Mulya Prawiro (bertahun – tahun lamanya sampai meninggal)
4.    Lurah Ruslan Kocoatmojo. Karena merasa diri sudah tidak berdaya memerintah lagi  maka mengundurkan diri.  (bertahun – tahun lamanya)
5.    Lurah Sukirman. Pada masa Lurah Sukirman, negara telah mengesahkan peraturan kepala desa dengan masa jabatan 5 tahun. Lurah di masa tersebut masih lurah transisi jabatan. [(bertahun – tahun lamanya),  1999  – 2004 )]
6.    Lurah Bunjari ( 2004 – 2009 )
7.    Lurah Wuryanto ( 2009 – 2014 )
8.    Lurah Bunjari  ( 2014 – 2019 ). 

Sunday, May 03, 2015

ASAL USUL KESENIAN DUSUN BONGKOL

ASAL USUL KESENIAN KUDA LUMPING DAN SRANDUL
DUSUN BONGKOL, DESA NGALIYAN, KECAMATAN BEJEN, KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

A.      Berdirinya Tarian Kuda Lumping
Sekitar tahun 1961 ada seorang pengembara dengan membawa istri dan anaknya yang berasal dari daerah Blawong berhenti di daerah sekarang Desa Ngaliyan, Kecamatan Bejen tepatnya di Dusun Bongkol. Pengembara tersebut bernama Mbah Sabari. Mbah Sabari ini disebut sebagai Pondok Blongsor, karena orang yang tidak punya apa – apa yang tinggalnya di ujung barat Dusun Bongkol (sekarang disebut Rumah Brak).
Pada mulanya, Mbah Sabari yang seorang pengembara dari daerah Blawong tersebut ingin menyebarkan dan mengembangkan berbagai kesenian yang telah ia pelajari dan telah dianggap mumpuni oleh masyarakat disekitarnya. Semakin lama, ia dikenal baik oleh masyarakat Dusun Bongkol yang kemudian mengajak lima orang sebagai sesepuh Dusun Bongkol pada saat itu untuk bermusyawarah. Musyawarah menghasilkan kesepakatan untuk membuat kesenian. Awal kesenian yang mereka ajarkan oleh masyarakat Dusun Bongkol adalah kesenian yang diberi nama Jaran Kepang dengan tiga alat musik pertama yang masih sederhana, yaitu angklung, kendang, dan gong bumbung sebagai masa awal perkembangan kesenian.
Kita sebagai masyarakat jawa tidak asing lagi dengan kata Jaran Kepang. Secara harfiah kata Jaran kepang berasal dari kata jaran yang berarti kuda dan kepang berarti dianyam, biasanya anyamannya terbuat dari bambu. Jadi,  jaran kepang atau kuda lumping adalah kuda yang terbuat dari anyaman yang pada tariannya kuda tersebut seperti ditunggangi oleh penarinya dan biasanya menceritakan kepahlawanan, perjuangan, dan hakikat seorang jati diri manusia. 

B.      Berdirinya Tarian Srandul
Dengan semakin majunya tarian kuda lumping, selanjutnya mereka membuat tarian yang disebut Srandul. Dahulu sebelum agama nasrani masuk, Srandul berati menceritakan  agama Islam  yang semua pengambilannya dari ajaran – ajaran Islam. Pada intinya, Srandul yang menggunakan ajaran Islam tersebut dinamakan Srandul Gatholoco. Semua nyanyian menyebut nama Tuhan (ela elo haellola). Dengan kemajuan tarian tersebut maka diputuskan kemudian hari bahwa Srandul ditampilkan malam hari dengan Senthir sebagai penerang utama dan kuda lumping ditampilkan pada siang harinya.
Srandul merupakan puncak dari tarian atau acara kegiatan pentas. Pada bagian ini, di dalamnya terdapat urutan tarian – tarian yang pada akhirnya menceritakan tentang pertanian. Urutan Srandul tersebut ialah :
1.      Manuk – manuk
2.      Kulak manuk
3.      Kembang
4.      Simbar
5.      Laler ( badut kembar, pemain dua orang )
6.      Simak
7.      Bayungan ( badut kembar, pemain dua orang )
8.      Lenggeran ( pemain perempuan )
9.      Cepuk ( sebagai semua puncak tarian sekaligus pelawak )
10.  Lengger menari dengan cepuk
11.  Cepuk ditinggal lengger karena cepuk berbohong tidak membayar lengger menari
12.  Lengger membawa pergi pakaian cepuk 
13.  Cepuk ( kesedihan Cepuk )
14.  Perawan Sunthi ( kisah Srandul  sebenarnya )
15.  Masa pertanian (kisah cepuk sebagai orang yang mengabdi untuk membantu masyarakat dalam bertani, dari awal pertanian sampai dengan akhir masa pertanian). 
Jadi, semua adegan tarian Srandul terbagi atas 15 tarian dengan 8 tarian awal disebut sebagai Badut Ngarep ( Badut Depan ).

C.      Hubungan Kiai Cepuk dengan Tarian Cepuk
Di sini ada cerita yang menarik untuk disimak sejarah dari kata Cepuk yang dipakai dalam puncak kesenian di Dusun Bongkol ini. Bagaimana hubungan antara kesenian Srandul dengan kata Cepuk ? Kisahnya demikian. Menurut penututuran Mbah Rejo Sampur yang merupakan salah satu dari sesepuh Dusun Bongkol, tarian Cepuk dikerjakan dan mulai dipakai dalam tarian Srandul sekitar tahun 1964 – an.
Pada tahun 1964 – an, ada seorang bernama Sastro Suhari yang menjual tanahnya kepada seseorang yang berasal dari daerah Wonosari, Gunungkidul, Sastro Sutiman namanya. Pada beberapa hari berikutnya tanah yang berwujud sawah menjadi milik Sastro Sutiman. Kemudian keseluruhan tanahnya akan di lebur. Ternyata, tanpa sepengetahuan dari Sastro Sutiman, tanah yang akan ia lebur terdapat sebuah makam yang sangat sederhana dan belum di cungkup.
Karena makam yang akan ia lebur adalah makam seorang pepunden desa dan seorang kiai, ia kemudian melakukan ziarah untuk nyekar (memberi bunga dan berdoa) setiap hari supaya makam tersebut memperoleh izin untuk dilebur.
Suatu hari, sang empunya tanah tersebut nekat untuk melakukan peleburan makam beserta tanah disekitarnya. Peristiwa aneh pun terjadi. Terjadi  pageblug (kejadian akibat dari kesalahan) yang berkepanjangan sehingga membuat masyarakat resah akibat dari makam yang dilebur tersebut. Banyak orang yang meninggal tanpa sebab, angin yang dirasakan terasa aneh, sehingga membuat banyak orang di masyarakat Dusun Bongkol harus siap siaga untuk menghindari kejadian yang lebih buruk dari peristiwa tersebut. Kejadian – kejadian aneh tersebut tak kunjung berhenti dan kebetulan Kepala Dusun Bongkol saat itu yang bernama Atmo Raban mengadakan kesenian Kuda Lumping dan Srandul.
Peristiwa yang terjadi pada sore hari saat kesenian tersebut di tampilkan ialah ada seorang warga yang berasal dari Boja (wilayah Kendal sekarang), Sodikoro, dirasuki oleh roh dari pepunden desa. Pepunden desa tersebut ternyata Mbah atau Kiai Cepuk, biasa disebutnya. Ia secara gamblang berdialog seperti orang biasa dan salah satunya yang paling mengesan ia berkata, “omahku yen udan kudanan, yen panas kepanasen“ dengan sedikit nada serak. Perkataan tersebut  yang berarti rumahku jika hujan kehujanan, jika panas kepanasan. Secara nyata mengandung sebuah pesan yang pada intinya karena ia sudah menjaga dan memelihara segala yang ada dari bermacam – macam bahaya, ia meminta kepada masyarakat supaya makamnya jangan dilebur akan tetapi buatkanlah cungkup dan kijing yang layak. Ia juga berpesan supaya segala kesenian yang ada janganlah berhenti akan tetapi dilestarikan, yang kemudian ia akan membantu dalam memelihara dan menjaga kesenian yang telah dikembangkan tersebut. 

D.      Keputusan  Akhir
Malam harinya, para sesepuh dusun melakukan rapat. Rapat dihadiri oleh 5 orang, ialah (alm) Atmo Wiyono, (alm) Parto Karmani, (alm) Karto Jamin, (alm) Merto Parman, dan Rejo Sampur. Rapat tersebut menghasilkan keputusan diantaranya :
     a.   masyarakat akan mendirikan cungkup dan kijing di atas makam Kiai Cepuk (dana dari seseorang yang berasal dari daerah Weleri ),
         b.  mengadakan Sadranan  setiap 1 Suro.
Sejak saat itu situasi kembali normal. Masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa. Mbah Rejo, biasa ia disebut, yang juga salah satu dari keturunan Mbah Cepuk menuturkan bahwa dari saat itulah, masyarakat mengetahui yang ternyata tarian yang bernama Cepuk adalah sebuah kata kebetulan (jayus). Artinya, sebelum masyarakat tahu – menahu tentang adanya Mbah Cepuk (makam), tarian Cepuk sudah ada terlebih dahulu. Lambat laun kemajuan dari kesenian rakyat membuat para pemain dan masyarakat dari Dusun Bongkol ini membuat paguyuban kesenian yang bernama Paguyuban Merti Budaya.
Akan tetapi, zaman semakin maju. Banyak anak muda sudah mulai meninggalkan kesenian ini sehingga segala sesuatu menjadi usang. Gamelan yang ada sekarang sudah mulai tidak terawat dan berkarat. Pakaian – pakaian untuk pentas pun sudah mulai berkurang karena termakan usia. Maka dari itu, atas inisiatif Mbah Rejo sendiri ingin kembali menggerakkan kesenian rakyat tersebut supaya tidak ditinggalkan karena kemajuan zaman yang disebut era – nya teknologi dan pengaruh asing  terjadi secara cepat.
Manusia adalah makhluk sosial serta semangat gotong – royong merupakan ciri khas dari masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dengan kata – kata tersebut bantuan – bantuan yang berupa materi dari berbagai pihak terutama dari Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung sangat kami harapkan dan sangat kami butuhkan untuk kemajuan kesenian tersebut dan supaya kesenian rakyat ini kembali hidup. Kemajuan yang ada merupakan kemajuan kita semua. Semoga bantuan – bantuan yang telah Saudara/i berikan kepada kami dapat diolah dan digunakan sebagaimana mestinya untuk memajukan, melestarikan dan menghidupkan kembali kesenian rakyat ini yang secara tidak langsung juga untuk kemajuan bangsa ini yang kaya akan unsur budayanya. Semoga amal ibadah yang Saudara/i berikan dapat berkenan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
BILA ANDA INGIN MEMBERIKAN AMAL KASIH BAGI KESENIAN KAMI, SILAHKAN KE 
REKENING BRI : 591301001823506 atau 
HUBUNGI : 087700120431 BAPAK REJO SAMPUR

Pancasila dasar negara kita
Hidup kita punya harapan kasih
                  Semboyan yang sangat berharga
                  Hidup mati kami ucapkan terimakasih.               (salah satu kutipan tembang Srandul)


LAMPIRAN